Thailand Boleh Gercep Soal EV, Tapi Tetap Bergantung ke RI
04 Agustus 2023, 17:23:25 Dilihat: 312x
Jakarta, Universitas Narotama -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui bahwa Thailand memang lebih cepat pergerakannya dalam hal pengembangan ekosistem kendaraan listrik (electric vehicle/ EV). Namun demikian, ujung-ujungnya mereka masih membutuhkan nikel RI untuk bahan baku pembuatan baterai.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Percepatan Pengembangan Industri sektor ESDM, Agus Tjahajana Wirakusuma menjelaskan bahwa baterai menjadi komponen paling mahal di dalam produksi kendaraan listrik. Adapun biaya untuk pembuatan kendaraan listrik, 30%-40% hanya untuk baterai.
"Iya padahal itu (harga baterai) kan 30%-40% dari harga mobil. Jadi kita usung-usung baterai ke Thailand, abis itu dia pasang," kata Agus saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip Kamis (03/08/2023).
Agus pun sempat mengatakan bahwa pemerintah tidak mempermasalahkan apabila pabrikan kendaraan listrik asal Amerika Serikat yakni Tesla lebih memilih Malaysia atau Thailand sebagai tujuan investasi.
Namun perlu diingat, negara tujuan investasi Tesla tersebut cukup bergantung pada RI selama ini dalam pasokan nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik.
"Mau ke Thailand silahkan ambil baterai dari mana? China sendiri dari kita, harganya itu 35% baterai jadi memang harus di atas kertas adalah bisnis," ujarnya dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Rabu (2/8/2023).
Oleh sebab itu, Indonesia perlu segera mempercepat pembangunan pabrik baterai untuk mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga. Mengingat Indonesia memiliki sumber daya nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai.
"Menurut saya, kekhawatiran dari Kemenko Marves itu betul kalau kita tidak ingin kalah dari Thailand ya harus segera pabrik baterainya. Karena komponen lain itu sama dengan kendaraan kendaraan yang ada sekarang dan sudah dipakai sudah ada 20 jutaan kendaraan yang diproduksi di sini," tambah Agus.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario mengatakan, bila Indonesia tidak segera membangun pabrik kendaraan listrik di dalam negeri, maka bisa saja calon investor lebih berminat untuk berinvestasi di negara tetangga, Thailand.
Hal itu menimbang fakta bahwa Thailand terhitung lebih maju perihal manufaktur EV bila dibandingkan dengan Indonesia. Seto menyebut, Thailand maju dua tahun lebih cepat dibandingkan Indonesia dalam hal perkembangan EV.
"Jika kita tidak menyesuaikan dengan cepat, maka Thailand akan bergerak lebih cepat dari Indonesia, mereka (investor) akan menarik lebih banyak pabrik giga di Thailand dibandingkan dengan Indonesia," jelas Seto dalam acara "Nickel Conference" CNBC Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu.
Seto mengatakan, dalam membangun pabrik EV di dalam negeri, bukan hanya karena Indonesia memiliki sumber daya tambang yang melimpah, tapi hal itu juga mempertimbangkan seberapa besar pasar EV yang ada di Indonesia.
"Karena membangun giga factory bukan soal sumber daya. Ini tentang seberapa besar EV market Anda," tambah Seto.
Seto menyebutkan bahwa Thailand pada tahun 2022-2023 ini sudah melakukan tes pasar untuk kendaraan Completely Built Up (CBU). Thailand memberikan kelonggaran bagi industri otomotif untuk mengimpor terlebih dahulu kendaraan listrik berupa CBU dan juga Completely Knock-Down (CKD).
Seperti diketahui, CBU artinya kendaraan listrik diimpor langsung dalam keadaan utuh, lengkap atau telah dirakit di negara asal produsen. Sementara CKD artinya kendaraan listrik yang diimpor berupa bagian-bagian (parts) komponen yang utuh, namun belum dirakit. Komponen-komponen ini baru dirakit di negara tujuan pengimpor atau dalam hal ini Thailand.
Pada 2024-2025 Thailand diperkirakan akan memulai konstruksi pabrik kendaraan listrik dengan insentif masih bisa diberikan kelonggaran berupa impor kendaraan CKD. Pada 2026-2027 ditargetkan pabrik kendaraan listrik berbasis baterai mulai diproduksi di dalam negeri mereka.