Jepang Larang Siswi Kuncir dan Kepang Rambut di Sekolah
18 Maret 2022, 11:18:17 Dilihat: 414x
Jakarta, Universitas Narotama -- Sekolah-sekolah di Jepang melarang siswi menguncir dan kepang rambut, serta mengatur ukuran panjang rambut.
Jepang juga menerapkan aturan murid wajib berambut hitam dan tali sepatu putih.
Aturan ini langsung menuai banyak kritik bahkan gugatan hukum.
Aturan lain seperti panjang rambut, larangan gaya kuncir kuda dan kepang, kaus kaki tak boleh rendah juga menjadi perbincangan.
Ayah dari murid salah satu sekolah di Jepang, Toshiyuki Kusumoto, mencari intervensi pengadilan untuk melindungi anaknya dari peraturan yang dianggap tak masuk akal.
"Peraturan sekolah semacam ini bertentangan dengan penghormatan terhadap kebebasan individu dan hak asasi manusia, yang dijamin oleh konstitusi," kata Kusumoto kepada AFP, Kamis (17/3).
Akhir Maret ini, pengadilan akan memediasi arbitrase antara Kusumoto, sekolah dan kota. Ia berharap pihak berwenang akan merevisi aturan.
"Ini bukan hanya soal anak-anak kita. Ada banyak anak lain di seluruh Jepang yang menderita karena aturan yang tak masuk akal," kata Kusumoto.
Mulai April, sekolah di Tokyo akan memangkas aturan yang ketat seperti menghapus warna rambut.
Namun di tempat lain, aturan semacam itu masih diterapkan.
Kasus pemaksaan aturan warna rambut pernah menjadi sorotan nasional pada 2017 lalu. Ketika itu, seorang gadis sekolah menengah berusia 18 tahun berulang kali diperintahkan untuk mewarnai rambut coklat alami menjadi hitam.
Ia lalu mengajukan gugatan di Osaka untuk mencari kompensasi 2,2 juta yen atas penderitaan psikologis yang dialami.
Usai kasus itu ramai, pemerintah tahun lalu menginstruksikan dewan pendidikan untuk memeriksa apakah peraturan sekolah mencerminkan realitas di sekitar siswa atau tidak.
Pelajar itu mengatakan dia secara teratur dilecehkan karena masalah ini meskipun dia mewarnai rambutnya untuk memenuhi persyaratan.
"Aturan ini menghancurkan kehidupan seorang siswa," kata pengacara gadis itu.
Siswa tersebut, sekarang berusia 22 tahun. Ia belum menyerah untuk merevisi aturan itu, pada November, ia mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Namun, baik pengadilan distrik dan banding Osaka memutuskan sekolah dapat meminta siswa mewarnai rambut menjadi hitam untuk tujuan "berbagai pendidikan".
Ada tanda-tanda tekanan lain untuk mengubah aturan, termasuk petisi yang diajukan ke kementerian pendidikan oleh remaja anggota kelompok hak asasi, Voice Up Jepang pada Januari lalu.
Mereka ingin kementerian mendorong sekolah untuk bekerja dengan siswa dalam membahas perubahan aturan.
"Kami memulai kampanye ini karena beberapa anggota kami punya pengalaman yang tidak menyenangkan dengan peraturan sekolah," kata Hatsune Sawada, anggota divisi sekolah menengah Voice Up Jepang.
Petisi tersebut memberikan contoh seorang gadis yang dipermalukan oleh seorang guru karena menumbuhkan poni yang menutupi alis gadis itu. Gaya rambut semacam itu disebut melanggar aturan.
Di Oita, peraturan itu mencakup seragam sekolah yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin. Celana panjang hanya untuk anak laki-laki dan rok untuk anak perempuan.
Dewan pendidikan setempat mengatakan aturan itu tidak hanya memupuk rasa persatuan di antara anak-anak tetapi juga meringankan beban ekonomi bagi keluarga yang membeli pakaian.
Namun, Kusumoto selaku orang tua siswa tak setuju. Dia menilai rasa persatuan bukan sesuatu yang dipaksakan, melainkan sesuatu yang harus dimunculkan secara spontan.
"(aturan semacam itu)adalah formula untuk menghasilkan anak-anak yang berhenti berpikir," kata dia.
Peraturan seperti itu muncul setelah 1970-an, demikian menurut profesor pendidikan di Universitas Wanita Mukogawa, Takashi Otsu.
Ketika itu kekerasan terhadap guru menjadi masalah sosial. Sekolah kemudian mengendalikan situasi melalui aturan.
"Beberapa jenis aturan diperlukan bagi organisasi mana pun, termasuk sekolah, tetapi keputusan tentangnya harus dibuat dengan idealnya melibatkan siswa, yang akan memungkinkan anak-anak belajar mengambil keputusan yang demokratis," kata Otsu.