AS Sebut Pertemuan dengan Taliban Bukan Bentuk Pengakuan
11 Oktober 2021, 11:22:30 Dilihat: 306x
Jakarta, Universitas Narotama -- Amerika Serikat menegaskan pertemuan delegasinya dengan Taliban di Doha, Qatar, pada akhir pekan lalu bukan bentuk pengakuan terhadap rezim yang kini menguasai Afghanistan itu.
Seorang pejabat senior AS menegaskan pertemuan itu hanya bentuk keberlanjutan "hubungan pragmatis" dengan Taliban dan "bukan terkait memberi pengakuan atau melegitimasi" rezim kelompok tersebut.
Pertemuan itu merupakan pembicaraan tatap muka pertama kali sejak Taliban mengambil alih Afghanistan pada pertengahan Agustus lalu.
"Diskusi itu jujur dan profesional dengan delegasi AS yang menegaskan bawah Taliban akan tetap dinilai berdasarkan tindakannya, bukan hanya kata-katanya," ujar pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri AS seperti dikutip Reuters, Minggu (10/10).
Presiden China dan Taiwan Saling Serang Berebut Kedaulatan
Menilik Ancaman dan Awal Mula ISIS-Taliban Musuh Bebuyutan
Dalam pernyataan itu, kedua belah pihak membahas bantuan kemanusiaan AS kepada rakyat Afghanistan.
Selain itu, AS-Taliban juga membicarakan keamanan dan terorisme, jaminan evakuasi yang aman bagi warga AS dan penduduk lokal yang ingin keluar dari Afghanistan, serta hak asasi manusia dan partisipasi perempuan di semua aspek.
Mereka juga mengatakan pejabat berkomunikasi dengan puluhan warga AS dan penduduk tetap yang ingin meninggalkan Afghanistan. Ada ribuan warga Afghanistan yang disebut menghadapi risiko penganiayaan oleh Taliban, yang masih terjebak di negara itu.
AS dan komunitas internasional lain sedang menghadapi pilihan sulit karena krisis kemanusiaan yang terus membesar di Afghanistan.
Mereka mencoba mencari cara membantu Afghanistan tanpa memberikan Taliban legitimasi yang selama ini diinginkan kelompok itu.
Pejabat pemerintah AS mengatakan negaranya akan menekan Taliban untuk membebaskan warga negaranya yang diculik, Mark Frerichs.
Prioritas utama lainnya adalah memegang teguh komitmen Taliban agar tak membiarkan Afghanistan menjadi sarang Al-Qaeda atau kelompok ekstrimis lainnya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Afghanistan era Taliban, Amir Khan Muttaqi, mengatakan kepada Al-Jazeera, bahwa mereka sedang melobi AS agar mencabut pembekuan aset Afghanistan.
Taliban mengambil alih kekuasaan pada pertengahan Agustus lalu. Beberapa hari kemudian, mereka mengklaim ingin membangun pemerintahan yang terbuka dan moderat serta akan menjunjung hak asasi manusia.
Namun, nyaris dua bulan memimpin justru mereka menunjukkan pembatasan-pembatasan utamanya terhadap perempuan yang mengarah pada pelanggaran HAM.
Taliban menyatakan akan menangani kekhawatiran global jika mereka mengakui pemerintahannya.
Hal tersebut memicu kebimbangan negara lain. Satu sisi mereka ingin membantu rakyat Afghanistan, di sisi lain mereka tak mau mengakui pemerintahan Taliban.
Sejauh ini yang membuka diri atas hubungan diplomatik terhadap Taliban baru China dan Rusia. China disebut memiliki proyek insfrastruktur Belt and Road Initiative (BRI) di Afghanistan.
Meski begitu, sejauh ini belum ada satu pun negara yang memutuskan sikap definitif mereka soal rezim Taliban sebagai pemerintah sah Afghanistan.