Uni Eropa Tunggu Implementasi Hasil KTT ASEAN soal Myanmar
08 Mei 2021, 09:00:00 Dilihat: 312x
Jakarta -- Uni Eropa mengaku menantikan pelaksanaan lima konsensus ASEAN untuk penyelesaian krisis pasca kudeta di Myanmar.
Lima konsensus itu merupakan hasil dari pertemuan pemimpin negara Asia Tenggara dalam KTT yang digelar di Jakarta akhir April lalu.
"Kami menantikan implementasi cepat dari lima poin konsensus yang disetujui para pemimpin," kata Duta Besar Uni Eropa untuk ASEAN Igor Driesmans dalam konferensi pers via daring, Jumat (7/5).
Dalam KTT pada Sabtu (24/4), 10 negara ASEAN, termasuk Myanmar, sepakat menetapkan lima poin konsensus terkait krisis di negara tersebut.
Adapun lima konsensus itu yakni; kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan, harus ada dialog konstruktif mencari solusi damai, ASEAN akan memfasilitasi mediasi, ASEAN akan memberi bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre, dan akan ada utusan khusus ASEAN ke Myanmar
"Kami akan melihat pemimpin dan utusan khusus yang berjanji akan ke Myanmar untuk terlibat langsung dalam dialog konstruktif dengan pihak terkait," ujar Igor.
Menurut dia, Uni Eropa siap membantu menjalankan rencana itu jika dibutuhkan
Kudeta yang terjadi di Myanmar pada 1 Februari lalu menjadi sorotan pihak internasional
Meski ASEAN sudah menggelar pertemuan para petinggi, dan pemimpin kudeta Jenderal Aung Hlaing menyetujui untuk mengakhiri kekerasan, namun hingga hari ini korban tewas terus bertambah.
Hal itu pula menjadi sorotan Igros. Ia mempertanyakan bagaimana Uni Eropa akan melibatkan diri dalam mencari solusi krisis di Myanmar.
Misalnya, dengan menggelar pertemuan untuk menyampaikan hal apa saja yang sangat dibutuhkan orang-orang Myanmar.
"Saya pikir, kita semua tahu bahwa situasi di Myanmar bagi banyak orang, semakin hari, semakin buruk. Jadi kami sangat berharap untuk bekerja sama," ujar Igras.
Sebagai upaya agar militer Myanmar menghentikan kudeta dan tindak kekerasannya, Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi kepada sepuluh pejabat junta militer dan dua perusahaan konglomerat yang terkait dengan militer.
Dua perusahaan itu adalah Myanmar Economic Corporation (MEC) dan Myanmar Economic Holdings Ltd (MEHL) yang mendominasi sektor perdagangan, alkohol, rokok, dan kebutuhan sehari-hari.
Sementara itu, sepuluh pejabat junta militer yang menjadi target sanksi sebagian besar merupakan anggota Dewan Administrasi Negara. Mereka dianggap bertanggung jawab atas kerusakan demokrasi di Myanmar.
Meski mendapat sejumlah sanksi junta militer tampak tak gentar. Karena itu, Duta Besar Myanmar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kyaw Moe Toen meminta Amerika Serikat menargetkan sanksi untuk perusahaan minyak dan gas Myanmar yang dikelola negara dan bank milik negara.
Pada Selasa (4/5) lalu, Kyaw menyampaikan kepada Komite Urusan Luar Negeri bahwa selain bank Myawaddy dan Innwa yang dikelola militer, AS juga harus memberikan sanksi kepada Bank Perdagangan Luar Negeri Myanmar (MFTB) milik negara dan Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar (MOGE).
Sumber cnnindonesia.com