Kudeta, Rohingya di Bangladesh Takut Kembali ke Myanmar
04 Februari 2021, 09:00:00 Dilihat: 236x
Jakarta -- Pengungsi Rohingya yang berada di kamp-kamp di Bangladesh mengutuk kudeta militer yang terjadi di Myanmar. Para pengungsi mengaku tetap takut untuk kembali ke kampung halaman mereka di Myanmar setelah kudeta militer terhadap pemerintahan pemimpin de facto Aung Sang Suu Kyi.
Para pengungsi mengaku mereka sekarang justru lebih takut untuk kembali ke Myanmar setelah militer memegang kendali penuh.
"Militer membunuh kami, memperkosa saudara perempuan dan ibu kami, membakar desa kami. Bagaimana mungkin kita tetap aman di bawah kendali mereka?," kata Kepala Asosiasi pemuda Rohingya, Khin Maung di kamp pengungsian di distrik Coxs Bazar, Bangladesh.
Tetapi para pengungsi di sana mengaku sangat menentang pengambilalihan kekuasaan oleh militer.
"Kami mengutuk keras kudeta itu. Kami adalah bagian dari rakyat Myanmar, jadi kami merasakan hal yang sama seperti rakyat Myanmar pada umumnya. Kami mendesak masyarakat internasional untuk bersuara menentang kudeta," ucap Maung.
Mengutip AP, bulan lalu pejabat Myanmar dan Bangladesh melakukan pertemuan untuk membahas proses repatriasi para pengungsi Rehongya. Kementerian Luar Negeri Bangladesh berharap bisa mulai proses repatriasi pada Juni 2021.
"Setiap repatriasi damai akan sangat berdampak. Ini akan memakan waktu lama karena situasi politik di Myanmar sekarang lebih buruk," ujar Maung kepada Associated Press.
Pengungsi berusia lanjut, Mohammad Jaffar (70) tak memungkiri jika ia telah menanti lama untuk bisa kembali ke Rakhine, Myanmar.
Namun Jaffar harus mengubur kembali harapan itu setelah ada perubahan rezim. Ia merasa repatriasi tidak membuat etnis Rohingya aman ketika kembali ke kampung halaman karena ia bisa menanggung rasa sakit dua kali lebih besar dari sebelumnya.
Nurul Amin, pengungsi lain memperkirakan proses repatriasi tidak akan dilakukan sekarang atau dalam waktu dekat.
"Bahkan jika mereka mencoba memulangkan kami, kami tidak akan setuju untuk kembali dalam situasi saat ini. Jika mereka membawa kami kembali ke rezim itu [militer], mereka akan lebih menyiksa kami," ucap Amin.
Kendati demikian, pihak Bangladesh tetap berharap kudeta militer yang memengaruhi pemerintahana Myanmar tidak menjadi penghambat repatriasi para pengungsi Rohingya.
"Sebagai tetangga dekat, kami ingin melihat perdamaian dan stabilitas di Myanmar. Kami gigih dalam mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan Myanmar dan telah bekerja sama dengan mereka untuk pemulangan Rohingya yang secara sukarela, aman, dan berkelanjutan," tulis pihak Kemenlu Bangladesh.
Perseikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan massal, dan pembakaran desa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya di Rakhine pada 2017 sebagai bentuk genosida. Lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya memilih mengungsi dari desa mereka ke Bangladesh.
Alih-alih membela Rohingya, Suu Kyi yang saat itu memimpin Myanmar justru membantah ada upaya pembantaian massal di Rakhine. Suu Kyi justru membela militer Myanmar dalam sidang atas kekejaman terhadap Rohingya di Pengadilan Kriminal Mahkamah Internasional pada 2019.
Kudeta militer terhadap Presiden Win Mynt, pemimpin de facto Aung San Suu Kyi pada Senin (1/2) dengan cepat menyebar di kamp pengungsi Rohingya. Kendati sempat menaruh harapan nasib mereka pada Suu Kyi, para pengungsi justru menyambut suka cita penahanan sosok peraih Nobel Perdamaian itu oleh junta militer.
"Dia adalah alasan di balik semua penderitaan kami. Mengapa kami tidak merayakannya?," kata pemimpin komunitas Rohingya, Farid Ullah.
Sumber cnnindonesia.com