Presiden Iran Minta Biden Kembali ke Perjanjian Nuklir
22 Januari 2021, 09:00:00 Dilihat: 248x
Jakarta -- Presiden Iran Hassan Rouhani meminta presiden Amerika Serikat terpilih Joe Biden kembali bergabung pada kesepakatan nuklir 2015 dan mencabut sanksi dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump pada Teheran.
"Jika Washing kembali ke kesepakatan nuklir 2015 Iran, kami juga akan sepenuhnya menghormati komitmen kami di bawah pakta tersebut," kata dia pada rapat kabinet yang dikutip CNN, Rabu (20/1).
"Era tiran telah berakhir dan hari ini adalah hari terakhir dari pemerintahannya yang tidak menyenangkan," ujarnya.
Rouhani menilai empat tahun masa jabatan Trump "tidak menghasilkan buah, selain ketidakadilan dan korupsi dan menyebabkan masalah bagi rakyatnya sendiri dan dunia".
Diketahui, hubungan Iran dengan pemerintahan Trump tidak harmonis, terlebih semenjak AS membunuh jenderal Iran Qasem Soleimani pada awal tahun lalu.
Sementara Biden-yang merupakan pendamping presiden AS ke-44, Barack Obama-diharap dapat memulihkan hubungan kedua negara tersebut.
Biden sendiri telah menyatakan keinginan untuk kembali pada perjanjian itu. Menurut dia, Trump "dengan ceroboh membuang kebijakan yang bekerja untuk menjaga keamanan Amerika dan menggantinya dengan yang telah memperberat ancaman".
"Saya akan menawarkan Teheran jalan yang kredibel untuk kembali ke diplomasi," kata dia pada September 2020.
"Jika Iran kembali ke kepatuhan ketat dengan kesepakatan nuklir, Amerika Serikat akan bergabung kembali dengan perjanjian itu sebagai titik awal untuk negosiasi lanjutan," tambahnya.
Namun, beberapa pihak khawatir ulah Trump pada beberapa bulan terakhir di Gedung Putih membuat keinginan tersebut sulit dicapai.
Pada November lalu seorang ilmuwan nuklir Iran tewas di dekat Teheran. Pemerintah Iran menuding Israel sebagai dalang dari insiden itu. Di akhir Desember, pembom B-52 berkemampuan nuklir AS diterbangkan ke Timur Tengah.
Perjanjian nuklir Iran sendiri bertujuan membatasi program nuklir sipil Iran dengan harapan mencegah pengembangan senjata nuklir di negara itu.
Kesepakatan itu disebut dengan Rencana Aksi Komprehensif bersama (JCPOA). Selama Obama menjabat, JCPOA berhasil ditandatangani oleh Iran dan enam negara lain di Wina, 2015, setelah dua tahun diskusi intensif.
Melalui kesepakatan tersebut, pemerintah Iran setuju untuk mengurangi jumlah sentrifugal hingga dua pertiga, memangkas cadangan uranium yang diperkaya, dan membatasi pengayaan yang sedang berlangsung pada 3,67 persen.
Iran juga diminta membatasi penelitian dan pengembangan uranium, serta membuka akses fasilitas nuklirnya untuk pengawas dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Sebagai imbalan atas persetujuan itu, negara yang terlibat dalam perjanjian mencabut semua sanksi nuklir terhadap Iran dan menghubungkan kembali ekonomi negara itu dengan pasar internasional.
Namun perjanjian itu dicabut Trump pada 2018. Padahal, perjanjian itu masih berjalan antara Iran, Prancis, Inggris, Jerman, China dan Rusia.
Baru-baru ini Iran mengumumkan telah memperkaya uranium hingga kemurnian 20 persen dan menyita sebuah kapal tanker kimia berbendera Korea Selatan di Teluk Persia.
Peringatan itu disahkan tanpa konflik antara pasukan AS dan Iran. Ini dinilai sebagai langkah AS membuka pintu diplomasi yang disambut oleh Rouhani pekan ini.
Sumber cnnindonesia.com