Sebuah buku bertajuk “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama Jawa 1785-1855" diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia. Bedah buku karya Peter Carey ini dilaksanakan di Museum Pengeran Diponegoro, Tegalrejo, Yogyakarta.
Peter Carey mengawali bedah buku tersebut dengan mengatakan Pangeran Diponegoro bukanlah sosok pahlawan saja, namun juga sosok kemanusiaan. Diponegoro adalah seorang manusia yang luar biasa dan tidak pernah murung dalam menghadapi segala tantangan.
“Tantangan berat kala itu Pangeran Diponegoro diboyong ke Tegalrejo oleh kakeknya, tantangan berat menghadapi serbuan tentara Inggris dan tantangan berat ketika di tangkap di Magelang namun di setiap saat ada selalu kreativitas pada diri Pangeran Diponegoro,” katanya, Kamis, 8 Maret 2012.
Jika mempelajari riwayat Pangeran Diponegoro maka akan terlihat kebudayaan Jawa bersistem adat dan rambu-rambu telah mengasah dan membentuk sosoknya. Di Tegalrejo inilah tempatnya Diponegoro diasah dan dibentuk. “Jadi Tegalrejo ini suatu tempat yang begitu luar biasa dan istimewa,” kata Carey.
"Kesaktian" Tegalrejo ini juga dirasakan Carey sendiri. Dalam upaya untuk memperoleh data dan sejarah dari Pangeran Diponegoro, Carey mendapatkan pengalaman spiritual. Warga Inggris ini mengaku didatangi oleh roh halus dari Tumenggung Reksonegoro, juru tulis Sang Pangeran. Sang roh tidak suka ada orang bule yang tingga kediaman di Tejokusuman, tempat Diponegoro dulu dibesarkan.
“Saya banyak tantangan yang aneh, susah, namun setelah itu dengan selamatan dan sedekah maka keberadaan saya diterima. Sehingga dalam membuat buku sejarah Pangeran Diponegoro ini juga tidak lepas dari restu dari keluarga besar Gusti Tejo," katanya.
Carey menyatakan, buku sejarah Diponegoro ini tidak ingin meluruskan sejarah namun tujuannya adalah balas budi sebab 200 tahun
yang lalu, ada perang antara bangsa Inggris dengan Keraton Yogyakarta. Inggris lalu memboyong semua naskah dari Keraton Yogyakarta ke Inggris, kecuali satu naskah yaitu Al Qur’an.
“Jadi saya merasa sebagai orang Inggris punya tugas untuk membalas budi kepada bangsa Yogyakarta, Keraton Yogyakarta dan leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Apa yang dirampas Inggris bisa dikembalikan dalam suatu bentuk yang bisa dipakai dan bisa menjadi landasan suatu sejarah yang baru,” katanya.
Hasilnya adalah sebuah buku berjudul “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama Jawa 1785-1855". Buku yang terdiri dari tiga jilid ini memberikan gambaran konteks dan situasi ketika Pangeran Diponegoro dalam kancah perjuangan melawan Belanda pada awal abad 19.
Konteks itu, kata Carey, memiliki kemiripan dengan situasi yang dihadapi Indonesia dewasa ini. Terjadi kemerosotan moral dan martabat di kalangan pejabat, korupsi yang merajalela, dan kesenjangan sosial. “Di atas segalanya, sosok Pengeran Diponegoro merupakan sosok pejuang yang berani melakukan hal yang benar meski hal itu tidak menguntungkan dirinya pribadi dan keluarganya,”kata Carey.
Diponegoro, kata Carey, mewakili simbol mulianya sebuah kekalahan. Meski secara fisik kalah, Pangeran Diponegoro secara moral dan spiritual telah memenangkan peperangan karena sikap pribadinya dan nilai-nilai moral yang dijunjungnya.
Sosok Dirindukan
Sementara itu Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma (USD), G Subanar SJ yang ikut membedah buku itu bercerita mengenai pesan moral yang sama. Menurutnya, di tengah kemerosotan etika dan moral di lingkungan istana, situasi kemiskinan dan wabah serta bencana alam yang terjadi pada tahun 1800-an, sosok Diponegoro muncul sebagai ratu adil dengan berbagai gerakan.
“Sosok ini sangat dirindukan masyarakat di tengah bobroknya kepemimpinan para pejabat negara sekarang," katanya.
Carey, kata Subanar, menggambarkan Diponegoro memiliki prinsip yang kuat saat menghadiri perjanjian damai di akhir perang Jawa. Bahwa cucu dari Ratu Ageng itu disebutkan memiliki kesadaran mempertahankan milik yang menopang hidup dan harga diri saat berhadapan dengan zaman yang terus menggilas karena kehadiran penjajah yang merebut semua sumber daya yang dimiliki Jawa.
Pada akhirnya perjanjian damai itu menjadi titik balik yang membuka zaman baru seperti yang diramalkan. Segala perjuangan semacam itu berbeda jauh dengan para pemimpin bangsa ini yang rela menjual sumber daya yang ada ke pihak asing.
"Sosok Diponegoro dapat menjadi cermin bagi sejarah masa kini. Terlebih bagi para pemimpin dan orang-orang yang mau terlibat di dalam kepemimpinan apapun yang memiliki wawasan politik, ekonomi, pluralisme dan multikultural sebagaimana telah menjadi pengalaman Pangeran Diponegoro," katanya.
Sementara keturunan kelima Pangeran Diponegoro, Miranda Diponegoro, mengatakan, terbitnya buku tersebut menjadi bagian penting bagi terkumpulnya keluarga besar mereka. Sebab keluarga Diponegoro tidak hanya tinggal di Purworejo atau Kulonprogo, namun juga Bogor, Banjarnegara, bahkan Makassar dan Ambon, Maluku.
"Peluncuran buku sebagai bagian dari pertemuan pulang kampung dan bersatunya keturunan Diponegoro. Kami bahkan baru bertemu pertama kali ini," ujar Miranda.(np)
• VIVAnews