Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menyatakan kepala daerah tak dapat langsung dipecat hanya gara-gara terlibat dalam aksi penolakan kenaikan harga BBM.
"Itu hanya alasan politis saja," kata Jimly kepada VIVAnews.com, Rabu 28 Maret 2012.
Meski demikian, Jimly dapat mengerti tentang keluhan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi. Sebab, seharusnya kepala daerah menjalankan perintah atasannya, yakni pemerintah pusat. "Tidak boleh juga pemerintah daerah ikut dalam politik nasional. Seorang kepala daerah seharusnya menjalankan tugasnya sesuai dengan undang-undang," ujarnya.
Aspirasi kepala daerah, lanjut Jimly, seharusnya dapat disalurkan melalui corong DPD. "Jadi ini ada masalah etika jabatan, mereka sebenarnya tidak melanggar ketentuan, tapi hanya menolak perintah atasan yang baru mau diputuskan," ujarnya.
Menurut Jimly, permasalahan tersebut terjadi karena kepala daerah yang saat ini menjabat juga menjadi petinggi dari partai politik. Sehingga mereka dapat saja berdalih menyuarakan aspirasi rakyat pendukungnya.
Jimly mngusulkan, untuk menghindari konflik kepentingan, para kepala daerah itu meletakkan jabatannya di partai. "Jadi untuk menghilangkan conflict of interest, kepala daerah yang terpilih harus meletakkan jabatannya di partainya. Karena setelah menjadi kepala daerah mereka tidak hanya mewakili partainya tetapi juga memimpin seluruh rakyat," ujarnya.
Seperti diketahui, sejumlah kepala daerah ikut serta dalam aksi penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi. Mereka adalah Wakil Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo dan Wakil Walikota Surabaya Bambang DH.
Bahkan, Walikota Solo Joko Widodo dan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, juga ikut menyuarakan penolakan kenaikan harga BBM. Meski mereka tidak ikut demo. Para penolak kenaikan harga BBM ini adalah kepala daerah yang berasal dari PDI Perjuangan. (ren)
• VIVAnews